Peran domestik
keluarga secara sederhana menggambarkan tentang pekerjaan-pekerjaan atau
aktivitas yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebagai contoh adalah mencuci
pakaian, mencuci piring, memasak, menyetrika, menyapu rumah, hingga kegiatan
mengasuh anak. Peran
domestik identik diposisikan pada perempuan dan memiliki stereotype yang
berbeda dengan laki-laki. Perempuan adalah sebagai istri (pendamping suami),
pengelola rumah tangga, sebagai ibu (penerus keturunan dan pendidik anak), dan
sebagai warga masyarakat. Beberapa peran pada perempuan tersebut ada yang tidak
bisa digantikan oleh siapa pun walau oleh suami, seperti hamil, melahirkan dan
menyusui (kodrati)
Sebaliknya sektor publik lebih identik dengan laki-laki yang
digambarkan memiliki karakter maskulin yang tegas, berani, cekatan dan cepat
dalam mengambil keputusan, sehingga dikatakan bahwa sektor publik merupakan
domain laki-laki. Kekuasaan publik identik dengan penyelesaian masalah dalam
persaingan dan konflik, sedangkan feminitas memiliki karakteristik berupa
kesabaran, kejujuran dan kesetiaan yang dianggap tidak memiliki karakteristik
unggul.
Namun pada era sekarang ini, perempuan tidak hanya
terbatas pada kegiatan dosmetik saja, namun juga melakukan kegiatan di luar
rumah (publik) untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Masuknya perempuan ke
wilayah publik disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: pendidikan
perempuan yang semakin tinggi sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk
bersaing dengan laki-laki disektor publik, adanya keinginan untuk maju dan
berkembang, tuntutan jaman dengan mengusung emansipasi wanita dan sebagai wadah
meningkatkan eksitensi diri. Alasan yang lain adalah untuk mendapatkan
penghasilan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tingginya kesadaran kaum
perempuan untuk bekerja, tidak linier dengan kendala yang perempuan hadapi,
bahwa masyarakat masih menginginkan perempuan bekerja untuk berperan ganda,
yaitu: berperan sebagai pekerja (publik-produktif) dan berperan sebagai ibu
rumah tangga (domestik-reproduktif).
Peran ganda tersebut
merupakan bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender dimana salah
satu jenis kelamin tertentu melakukan peran secara berlebihan. Dalam suatu
rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan
beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan rumah tangga. Sehingga bagi perempuan
yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
Peran
ganda tersebut memunculkan tantangan baru bagi perempuan dimana akan muncul
istilah second shift, yaitu sepulang dari bekerja, perempuan masih harus
menjalankan serangkaian pekerjaan rumah tangga. Sementara bagi
laki-laki, ketika pulang dari bekerja, ia mendapatkan keistimewaan untuk
beristirahat dan mendapat pelayanan dari istrinya. Kondisi semacam ini sering
menjadi persoalan di dalam rumah tangga. Dimana istri bisa jadi merasa
kelelahan dan lebih terbebani, sehingga rumah tangga menjadi tidak dapat ditata
dengan baik atau yang paling buruk adalah jika kemudian anak-anak menunjukkan
prestasi sekolah yang rendah atau bahkan kenakalan-kenalakan. Ketika hal itu
terjadi, tudingan akan selalu ditujukan kepada perempuan sebagai pihak yang
tidak mampu menjalankan kewajibannya. Pada kondisi seperti inilah rentan
menyebabkan stress bagi perempuan.
Ketika kondisi
stress, hormon adrenalin dalam tubuh seseorang akan meningkat, dan hormon
endhorpin akan menurun. Konsekuensinya, daya tahan tubuh akan menurun. Kondisi
ini yang akan mempengaruhi kesehatan perempuan dimasa mendatang. Oleh karena
itu salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melenturkan peran di dalam rumah
tangga. Laki-laki harus mampu berbagi peran
dengan istrinya sesuai
dengan keadaan. Misalnya ketika istri terpaksa harus lembur, suami pun
diharapkan siap untuk menemani anak belajar dan memastikan bahwa anak telah
makan malam. Atau jika istri sedang memasak, sang
suami dapat meringankan pekerjaan rumah tangga dengan membantu menyapu atau
kegiatan yang lainnya. Melalui berbagi kegiatan seperti ini pula akan tercipta
teamwork yang baik dalam berumah tangga.
Namun sayangnya tak semua laki-laki mau
mengambil peran tersebut. Masih lekatnya budaya patriarki di lingkungan kita
menjadikan laki-laki gengsi untuk melakukan pekerjan rumah tangga. Kepercayaan patriarki adalah sistem kepercayaan yang melayani legitimasi
dominasi laki laki dan diskriminasi gender. Hal ini berdasar kepada
interpretasi patriarkal dari ”bibliogical superiority ( sexism )” yang
mengklaim bahwa pembagian hak yang tidak setara antar gender adalah alamiah (
biologis ) atau takdir Tuhan, dan sangat sulit diubah.
Diskriminasi gender dalam kehidupan berumah tangga contohnya dalam pembagian peran domestik
yang tidak merata, pada dasarnya mengindikasikan
masih terabaikannya pemenuhan hak asasi perempuan, diantaranya sebagai akibat
masih terdapat kultur budaya dan lingkungan yang diskriminatif dan/atau bias
gender sehingga berimbas pada bentuk perlakuan diskriminatif pula. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender
antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan dalam
berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau
pencitraan yang negatif bagi perempuan yaitu citra perempuan yang dimaksud
hanya bergelut 3R (dapur, sumur,kasur), kekerasan, dan double burden (beban ganda) dalam pekerjaan rumah tangga. Dengan masih adanya
berbagai ketidak adilan gender yang perempuan alami, maka munculah program kesetaraan
gender dan menjadi tujuan global yang dimuat dalam Sustainable Development
Goals (SDGs) point 5 yaitu tentang kesetaraan gender dan
memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan dimana
didalamnya juga termuat promosi tanggung jawab bersama di dalam rumah tangga dan
keluarga sesuai dengan kebiasaan nasional.
Oleh karena itu dalam mewujudkan kesetaraan gender
dalam berumah tangga dapat dimulai sejak awal pernikahan. Pembagian peran
domestik publik dapat disepakati sedari awal dengan tetap mempertimbangkan
proporsi pembagian tugas tersebut. Inilah yang kemudian menjadi PR bagi
laki-laki dan perempuan yang akan menikah untuk dapat memahami hak dan
kewajiban dalam berumah tangga termasuk dalam mengedepankan prinsip kesetaraan
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui hal tersebut diharapkan suami maupun istri
tidak saling terbebani dalam menjalani peran rumah tangga.
0 komentar