RETHINKING KESETARAAN GENDER (PERAN PUBLIK-DOMESTIK) DALAM BERUMAH TANGGA

by - April 23, 2018




Peran domestik keluarga secara sederhana menggambarkan tentang pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebagai contoh adalah mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, menyetrika, menyapu rumah, hingga kegiatan mengasuh anak. Peran domestik identik diposisikan pada perempuan dan memiliki stereotype yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan adalah sebagai istri (pendamping suami), pengelola rumah tangga, sebagai ibu (penerus keturunan dan pendidik anak), dan sebagai warga masyarakat. Beberapa peran pada perempuan tersebut ada yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun walau oleh suami, seperti hamil, melahirkan dan menyusui (kodrati)
Sebaliknya sektor publik lebih identik dengan laki-laki yang digambarkan memiliki karakter maskulin yang tegas, berani, cekatan dan cepat dalam mengambil keputusan, sehingga dikatakan bahwa sektor publik merupakan domain laki-laki. Kekuasaan publik identik dengan penyelesaian masalah dalam persaingan dan konflik, sedangkan feminitas memiliki karakteristik berupa kesabaran, kejujuran dan kesetiaan yang dianggap tidak memiliki karakteristik unggul.
Namun pada era sekarang ini, perempuan tidak hanya terbatas pada kegiatan dosmetik saja, namun juga melakukan kegiatan di luar rumah (publik) untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Masuknya perempuan ke wilayah publik disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: pendidikan perempuan yang semakin tinggi sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk bersaing dengan laki-laki disektor publik, adanya keinginan untuk maju dan berkembang, tuntutan jaman dengan mengusung emansipasi wanita dan sebagai wadah meningkatkan eksitensi diri. Alasan yang lain adalah untuk mendapatkan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tingginya kesadaran kaum perempuan untuk bekerja, tidak linier dengan kendala yang perempuan hadapi, bahwa masyarakat masih menginginkan perempuan bekerja untuk berperan ganda, yaitu: berperan sebagai pekerja (publik-produktif) dan berperan sebagai ibu rumah tangga (domestik-reproduktif).
Peran ganda tersebut merupakan bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender dimana salah satu jenis kelamin tertentu melakukan peran secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan rumah tangga. Sehingga bagi perempuan yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Peran ganda tersebut memunculkan tantangan baru bagi perempuan dimana akan muncul istilah second shift, yaitu sepulang dari bekerja, perempuan masih harus menjalankan serangkaian pekerjaan rumah tangga. Sementara bagi laki-laki, ketika pulang dari bekerja, ia mendapatkan keistimewaan untuk beristirahat dan mendapat pelayanan dari istrinya. Kondisi semacam ini sering menjadi persoalan di dalam rumah tangga. Dimana istri bisa jadi merasa kelelahan dan lebih terbebani, sehingga rumah tangga menjadi tidak dapat ditata dengan baik atau yang paling buruk adalah jika kemudian anak-anak menunjukkan prestasi sekolah yang rendah atau bahkan kenakalan-kenalakan. Ketika hal itu terjadi, tudingan akan selalu ditujukan kepada perempuan sebagai pihak yang tidak mampu menjalankan kewajibannya. Pada kondisi seperti inilah rentan menyebabkan stress bagi perempuan.
Ketika kondisi stress, hormon adrenalin dalam tubuh seseorang akan meningkat, dan hormon endhorpin akan menurun. Konsekuensinya, daya tahan tubuh akan menurun. Kondisi ini yang akan mempengaruhi kesehatan perempuan dimasa mendatang. Oleh karena itu salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melenturkan peran di dalam rumah tangga. Laki-laki harus mampu berbagi peran dengan istrinya sesuai dengan keadaan. Misalnya ketika istri terpaksa harus lembur, suami pun diharapkan siap untuk menemani anak belajar dan memastikan bahwa anak telah makan malam. Atau jika istri sedang memasak, sang suami dapat meringankan pekerjaan rumah tangga dengan membantu menyapu atau kegiatan yang lainnya. Melalui berbagi kegiatan seperti ini pula akan tercipta teamwork yang baik dalam berumah tangga.
Namun sayangnya tak semua laki-laki mau mengambil peran tersebut. Masih lekatnya budaya patriarki di lingkungan kita menjadikan laki-laki gengsi untuk melakukan pekerjan rumah tangga. Kepercayaan patriarki adalah sistem kepercayaan yang melayani legitimasi dominasi laki laki dan diskriminasi gender. Hal ini berdasar kepada interpretasi patriarkal dari ”bibliogical superiority ( sexism )” yang mengklaim bahwa pembagian hak yang tidak setara antar gender adalah alamiah ( biologis ) atau takdir Tuhan, dan sangat sulit diubah.
Diskriminasi gender dalam kehidupan berumah tangga contohnya dalam pembagian peran domestik yang tidak merata, pada dasarnya mengindikasikan masih terabaikannya pemenuhan hak asasi perempuan, diantaranya sebagai akibat masih terdapat kultur budaya dan lingkungan yang diskriminatif dan/atau bias gender sehingga berimbas pada bentuk perlakuan diskriminatif pula. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi perempuan yaitu citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur, sumur,kasur), kekerasan, dan double burden (beban ganda) dalam pekerjaan rumah tangga. Dengan masih adanya berbagai ketidak adilan gender yang perempuan alami, maka munculah program kesetaraan gender dan menjadi tujuan global yang dimuat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) point 5 yaitu tentang kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan dimana didalamnya juga termuat promosi tanggung jawab bersama di dalam rumah tangga dan keluarga sesuai dengan kebiasaan nasional.
Oleh karena itu dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam berumah tangga dapat dimulai sejak awal pernikahan. Pembagian peran domestik publik dapat disepakati sedari awal dengan tetap mempertimbangkan proporsi pembagian tugas tersebut. Inilah yang kemudian menjadi PR bagi laki-laki dan perempuan yang akan menikah untuk dapat memahami hak dan kewajiban dalam berumah tangga termasuk dalam mengedepankan prinsip kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui hal tersebut diharapkan suami maupun istri tidak saling terbebani dalam menjalani peran rumah tangga.





You May Also Like

0 komentar